• Posted by : admin Martes, Mayo 9, 2017


    Siapakah Ahok?

    Ahok adalah manusia biasa, tapi langka. Dalam rentang waktu terbatas ia mampu mengubah kebiasaan lama orang-orang yang membuat sedih warga Jakarta. Kabar hantu premanisme, korupsi  dan pelayanan tak becus dibuatnya tak bertekuk. Ia berkata apa adanya. Wartawaan yang butuh informasi tak kekurangan bahan tulisan. Kata dan kalimat yang terucap dari mulutnya ditunggu dan diburu jadi berita.

    Langkahnya tak mudah goyah. Sulit ia digoda. Hal yang menggiurkan sudah dicoba, tapi ia tetap menjaga citra dirinya. Apa yang ada di hatinya, itu yang terucap dari mulutnya.

    Sejak statusnya dari Wagub jadi Gubernur Jakarta tahun 2014, ia seperti memasuki hutan rimba yang dihuni macan-macan ganas (bukan macan Asia, ha ha ha). Kehadirannya mendapat tekanan dan penolakkan tak biasa. Cacian dan hinaan rasis tak terhitung jumlahnya. Ia tak pernah mengelu dan mengadu atas perlakuan yang tidak adil itu.  Ia tetap tegar memelihara melangkahnya dan menjaga hatinya. Kedudukannya sebagai Gubernur tak goyah oleh goncangan yang hebat itu, karena aturan memungkinkannya.

    Pesimisme tentang kemampuannya memimpin Jakarta, ia respons dengan kerja, kerja dan kerja. Hasilnya, bukan keuntungan untuk dirinya, juga bukan untuk keluarga dan kroni-kroninya, tapi untuk Jakarta yang beda, lebih baik dan maju.

    Selama kepemimpinannya, macan-macan buas dan lapar merana. Mereka seperti berada dalam kemarau panjang. Mengaum-ngaum agar Ahok tak lagi mengusik “lahan basah” mereka.

    Macan-macan lapar itu adalah para koruptor, premanisme, dan pegawai indisipliner. Kepemimpinan Ahok membuat mereka tak bebas bergerak. Pungli jadi sunyi tak terdengar. Lokasi prostitusi dan judi Kalijodo lenyap tak berbekas. Premanisme  Tanah Abang terdesak dan kehilangan aksi-aksinya. Penyulap APBD hilang begal bergerak.



    Mereka jadi SAKTI (sakit hati) dan tak rela Ahok berlama-lama  menciptakan “musim kemarau.” Tahun 2015 usaha untuk memaksulkannya dicoba. Tapi kebencian 100 orang lebih anggota DPRD DKI Jakarta itu memalukan diri mereka sendiri. UPS siluman yang disangkal mati-matian oleh Lulung ketahuan. Muhammad Sanusi paling sial. Madu suap developer reklamasi meluluhkan sikap binalnya. Kini ia berada di sel Lembaga Pemasyarakatan (LP) menghabiskan sesalnya yang datang terlambat.

    Korupsi Jakarta lama berurat akar dan beranak pinak. Rakyat tak dapat layanan prima. Urusan jadi cepat jika menerima. Lama birokrasi dibuat tak sehat. Para pelakunya sulit move on karena nikmat rasanya. Ahok tak terima. Ia menyikatnya. Rakyat  sengsara yang mengeluh dan gemas gembira, karena ada sosok Ahok si manusia langka yang tak ragu bertindak.

    Korupsi, premanisme dan layanan birokrasi tak prima jadi penyakit akut. Lama dibiarkan tak ditindak.  Banyak yang mencoba menindaknya tapi tak berhasil. Ketegasan, keberanian dan nyali, itu adalah terapinya.   Sudah lama dirindukan masyarakat, tapi baru ditemukan pada sosok Ahok.

    Ketegasan, keberanian dan nyali Ahok termasuk barang langka. Ia mengunci sulap-sulapan APBD dengan e-Budgeting. Kawasan prostitusi dan perjudian Kalijodo lenyap tak berjejak.  Ia tak bangga atas prestasi, pujian dan penghargaan yang disematkan pdanya. Ia hanya berujar puas Jakarta terselamatkan dan makin beda.

    Kebencian terhadap Ahok

    Banyak kerja yang masih butuh ketegasan, keberanian dan nyali Ahok. Waktu tiga tahun tak cukup baginya memastikan oknum aparat tak kambuh dan berulah lagi. Ia butuh tambahan waktu satu periode untuk menuntaskannya. Namun orang-orang SAKTI (sakit hati) yang antri menggantinya dan diragukan berbuat tulus seperti dirinya makin gelisah.

    Masyarakat menginginkan Ahok melanjutkan kerja kerasnya lagi. Tujuh puluh persen lebih mengakui keberhasilannya. Dorongan keinginan masyarakat membuat orang SAKTI kian bertambah. Mereka bukan masyarakat awam, yang berasal dari lingkungan kumuh yang dinaikkan martabatnya menghuni rumah susun. Juga bukan masyarakat miskin yang selalu jadi objek kepentingan. Mereka adalah sosok-sosok panutan, public figure dan penganjur kebaikan yang pura-pura membela kepentingan umat dan warga miskin.

    Abdullah Gymnastiar yang akrab disapa Aa Gym, sosok yang sebelumnya terkenal santun, tapi entah mengapa tiba-tiba ucapannya tak sesuai dengan manajemen kalbunya, mulut manisnya berubah menjadi corong anti Ahok.

    Ia tergoda mengikuti jejak sesat Rizieq FPI, Amien Rais, Fadli Zon dan Ahmad Dhani Prasetyo, yang tak kenal lelah menebar kebencian SARA kepada Ahok.

    Ahok dikepung dan disudutkan dari berbagai arah. Minoritas ganda yang melekat pada dirinya (Cina-Kristen) melahirkan Risalah Istiqlal. Amien Rais dan Rizieq FPI ikut menggagasnya. Fadli Zon dan Ahmad Dhani mengambil peran menciptakan puisi dan lagu kebencian. Buni Yani mengambil peran mempreteli isi pidato Ahok di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu.

    Isi pidato Ahok yang dipelintir Buni Yani jadi heboh. MUI melalui sikap keagamaannya tanpa diawali tabayun (klarifikasi) membenarkannya. Sempurnalah tuduhan penuh rekayasa kepada Ahok yang tak seagama sebagai penista agama.

    Banyak pihak menyayangkan, kasus Al-Maidah 51 yang disematkan dan dialamatkan kepada Ahok adalah masalah kecil, karena bukan penistaan agama, namun sengaja di blow up dan digiring ke ranah politik, sehingga menjadi besar demi keuntungan kandidat tertentu.

    Permintaan maaf Ahok tak diterima. Justru lebih menyemangati orang-orang yang mengklaim pemilik dan sekaligus pembela kebenaran menambah tekanan kepada Ahok. Kelompok massa yang tergabung dalam aksi jalanan 411 dan 212 yang dihasut dan disulut emosinya membuat suhu politik jadi panas. Presiden Jokowi yang tak bisa naik kuda terpaksa  menaikinya demi mendinginkan Jakarta.

    Desakan massa  membuat Kapolri membatalkan surat keputusan yang dibuatnya sendiri. Isinya bahwa seorang calon kepala daerah jika bermasalah hukum akan diproses setelah Pilkada usai. Namun hal itu tidak berlaku bagi Ahok. Ahok mengikuti  aturan yang tunduk pada tekanan itu. Walaupun tak bersalah ia rela duduk di kursi pesakitan.

    Ahok tak melawan. Di tengah-tengah kesibukannya melaksanakan kampanye Pilkada tentang dirinya, ia juga harus hadir di persidangan. Mendengar tuntutan Jaksa atas apa yang tak pernah dilakukannya. Saat duduk di kursi pesakitan, ketegaran hati Ahok luluh.  Ia menangis karena tak mampu menahan gejolak batinnya.

    Kata-kata kurang ajar mengandung SARA dan kebencian ikut menyasar orang-orang yang bersimpati dan berempati dengan dirinya. Masyarakat beragama Islam yang mendukungnya dikafirkan dan divonis tak masuk sorga. Djarot Saiful Hidayat, wakilnya, dua kali diusir dari tempat ibadah dan dilabel kafir.

    Mereka, adalah orang-orang emosinal dan bodoh. Mayat kaku dikafirkan dan tak disholatkan bila pro Ahok-Djarot. Mata batin mereka benar-benar jadi buta. Mereka lupakan nasib bersama akibat janji palsu bercita rasa sorga.

    Memasuki Pilkada putaran kedua, kaum intoleran yang mendukung Anies bukan mengkampanyekan program Anies, tapi menyebar kebencian terhadap Ahok.  Kesucian tempat ibadah dicemarkan untuk menyuarakan kebencian. Akibat provokasi  secara massif, sistematis dan terstruktur membuat akal sehat masyarakat tak berfungsi. Ahok dianggap pagar berduri dan harus disingkirkan dengan cara memilih Anies.

    Bagi mereka, elektabilitas Ahok 70 % lebih tak ada artinya. Kampanye dan debat 4 kali yang digagas KPU tak ada pengaruhnya. Kerja tulus, tegas, berani, anti koruptor, legacy dan prestasi Ahok tak dianggap. Terjadi anomali, Ahok yang elektabilitasnya   70 % lebih kalah karena tak bisa janjikan sorga.

    Pemilih Ahok rasional dan cerdas. Mereka tak terbuai kata-kata manis beracun. Mereka tahu bahwa sorga bukan di mulut pembenci, yang bertutur kata tanpa cacat tentang kesucian. Pemilih Ahok tahu bahwa sorga bukan di mulut berbusa, tapi dekat  di hati semua orang, yang menghargai perbedaan dan hidup saling menyayangi. Ahok kalah terhormat karena memenangkan hati rakyat. Anies menang karena gimmick dan intimidasi.

    Pengadilan Ahok Politis?


    Sejak awal, proses sidang dan putusan Hakim, kasus Ahok sarat muatan politis. Ahok dinyatakan bersalah atas apa yang tidak dilakukannya. Kasus yang dituduhkan kepadanya bertepatan dengan pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta.

    Sesuai peraturan Kapolri, kandidat yang bermasalah hukum akan diproses setelah Pilkada usai, namun dikecualikan untuk Ahok, Kapolri membatalkan keputusan yang dibuatnya sendiri, dan menetapkan Ahok sebagai tersangka akibat tekanan massa dalam aksi yang berseri-seri.

    Seiring dengan perjalanan sidang yang panjang dan melelahkan, secara perlahan dugaan rakayasa terhadap kasus Ahok mulai terungkap. Pertemuan dan telpon-telponan diakui oleh pak mantan memang ada, tapi apa isinya masih terkunci rapat di mulut.

    Dalam sidang XX tanggal 20 April 2017, dugaan rekayasa terhadap Ahok terbukti. Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak cukup bukti menuntut Ahok dengan pasal 156a, karena Ahok tak terbukti menista agama. Ahok hanya dituntut 1 tahun berdasarkan pasal 156. Video pelintiran hasil unggahan Buni Yani ikut meringankannya.

    Selama beberapa kali sidang. Sentimen SARA digunakan oleh orang-orang SAKTI (sakit hati) untuk menggerakkan dan memobilisasi massa. FPI jadi kuda tunggangan menyuarakan hal-hal aneh. Mereka memaksa keadilan bias. Menuntut hasilnya sesuai keinginan dan berpihak kepada mereka.

    Sangat luar biasa, Ahok sebagai kandidat membagi waktu  ikut kampanye dan sekaligus ikut sidang pada saat yang sama. Mungkin baru Ahok mengalaminya. Sungguh sejarah Pilkada dan sidang menyakitkan untuk diingat. Bau busuk rekayasa kasus semerbak menyengat pasca Ahok kalah terhormat, isu penistaan agama langsung redup; dan keesokan harinya (20/4/2017) Ahok dituntut oleh Jaksa tak menista agama.

    Walaupun Ahok sudah kalah dalam Pilkada dan dinyatakan tak menista agama, namun orang-orang SAKTI (sakit hati) tetap tidak puas. Mereka menilai Ahok terlalu lama sampai Oktober 2017 berada di Balai Kota DKI Jakarta, ditambah lagi Anies, Gubernur hasil SARA sangat bernafsu segera menduduki kursi Gubernur untuk menggolkan program tipu-tipunya.

    Cara yang tidak jujurpun dicari untuk menjegal Ahok yang dikenal sebagai salah satu pejabat berintegritas, tegas dan anti korupsi agar tidak boleh hidup di Indonesia.  Demo bernomor togel 55 sebagai lanjutan dari aksi-aksi sebelumnya digagas untuk menekan dan menakut-nakuti Hakim. Demo yang digelar  5 Mei 2017 menjelang sidang putusan kasus Ahok tanggal 9 Mei 2017 bau politisnya sangat tajam tercium. Massa berteriak-teriak histeris dan kesetanan meminta agar Hakim jangan diintervensi, tapi anehnya mereka sendiri yang mengintervensi Hakim agar tidak independen.

    Kasus Ahok yang sangat politis dan telah berakhir dengan sedih. Sedih karena hukum terkesan tunduk pada keinginan massa yang terhasut oleh video editan Buni Yani. Jaksa Penuntut Umum sudah membuktikan bahwa Ahok tidak menista agama,  tapi oleh Hakim Ahok tetap dinyatakan bersalah demi memenuhi keinginan massa dan tuntutan orang-orang SAKTI. Orang jujur nampaknya dilarang hidup di Indonesia karena dianggap seperti kawat pagar berduri di tengah-tengah orang yang tidak benar.

    Ahok telah dikorbankan untuk memuaskan keinginan orang-orang yang mempersenjatai diri dengan SARA. Ahok gentleman menerima beban yang seharusnya bukan dirinya yang memikul. Beda dengan Rizieq FPI yang sok suci, tapi berteriak-teriak di jalanan kayak orang Kafir (Kangen Firza) dan hanya berani keroyokan. Cukup Ahok dibenci dan dipenjara karena SARA, jangan Indonesia.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Bersatu NKRI - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -