Posted by : admin
Miyerkules, Abril 26, 2017
Belakangan muncul pemikiran pesimis yang membuat saya semakin sedih melihat negara ini. Pemikiran yang mengisyaratkan kalau orang waras harus mundur selangkah, supaya tetap mengamankan posisi Pak Jokowi sebagai Presiden, menuju 2019 mendatang. Ada yang merasa jangan paksa Pak Ahok jadi mentri, ada yang bilang Pak Ahok jadi model saja, bahkan jadi Gubernur Bali saja lebih baik jangan.
Belum lagi sebelumnya, teman-teman saya juga bilang kalau banyak pebisnis dan minoritas di Jakarta, berbalik memilih Anies, karena mereka merasa bisnisnya terganggu karena ketidakstabilan saat masa kampanye dan ada ketakutan kalau Pak Ahok menang, maka akan ada kerusuhan seperti Mei ’98, mengingat intimidasi luar biasa dari para preman yang membenci Ahok itu.
Ironis…Sebuah teror dan propaganda yang menyebabkan kewarasan menjadi minoritas di Jakarta, sehingga Pak Ahok harus kalah.Dan kekalahan itu sekarang menjadi alasan orang waras yang sudah jadi minoritas itu, untuk ketakutan, dan kembali menyerah pada teror dan propaganda lainnya. Keadaan yang membuat saya yang sudah kelelahan pergi ke luar kota seharian, jadi harus menunda tidur saya dan merasa harus melakukan sesuatu untuk mengajak sisa-sisa orang waras tersebut, untuk tetap menjadi waras.
Jangan harap negara ini bisa maju, kalau isu primordial masih mudah dihembuskan.. Dan jangan harap negara ini bisa menghilangkan isu primordial, jika pemerintah tak bisa tegas.. Dan jangan harap pemerintah punya kekuatan untuk bisa tegas, kalau yang waras pesimis dan ketakutan, yang bahkan tidak berani berharap seorang Ahok jadi hanya Mentri atau Kepala Daerah di tempat lain.
Saya mengerti, banyak yang sedih, dan merasa kalah setelah gelaran Pilgub DKI kemarin. Perasaan kehilangan yang menghantui para orang waras. Tetapi hati-hati, karena perasaan ini membuat para orang waras terjerumus, masuk ke dalam pusaran permainan orang-orang yang mau menghancurkan Indonesia itu. Untuk merasa pesimis dan terintimidasi, menyerah dengan keadaan.
Tolong dipertimbangkan beberapa fakta yang bisa kita peroleh dari Pilgub Jakarta kemarin. Bahwa tindakan mayoritas orang waras yang diam, dan hanya reaktif dengan merasa semua baik-baik saja, adalah unsur penting dalam kekalahan perang opini waras, mengenai berbagai fitnah keji terhadap petahana, mengenai esensi agama yang rahmatan lil alamin, dan juga mengenai sistem meritokrasi dalam mencari pemimpin.
Fakta juga ketika pemerintahan terlihat lemah dengan tindakan buru-buru jaksa, dan kesan membiarkan segala ujaran kebencian dan menggantungkan status hukum orang-orang yang pernah diciduk polisi, tidak menghasilkan apa-apa. Selain tambahan semangat untuk mereka melancarkan aksi dan fitnah lanjutannya.
Sebuah fakta juga, bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja gemilang Ahok mencapai 70-75%. Dan apakah orang yang rasis dan membenci seorang Ahok, akan dapat mengakui kinerja orang yang dibencinya? Rasanya tidak mungkin. Sehingga apakah artinya? Artinya masyarakat Jakarta yang masih waras, dan cukup objektif masih mayoritas. Mereka tidak dapat memilih karena mempercayai berbagai fitnah tentang bangkitnya PKI atau juga serbuan negara China yang mau menguasai Indonesia, dan terbentur masalah haram memilih pemimpin non-muslim.
Saya juga mengerti, banyak yang terpukul melihat seorang pemimpin yang telah bekerja sangat baik, harus kalah dalam Pilkada ini, dan merasakan ketakutan kalau Pak Jokowi akan kalah di 2019 jika mengangkat Pak Ahok untuk turut andil membereskan permasalahan negara ini. Tapi apakah dengan tidak berhubungan lagi dengan Ahok, nama Jokowi akan tetap bersih dari julukan Pembela si Penista Agama? atau Dibekingi 9 Naga?
Keadilan yang ditegakan yang menghasilkan tuntutan Jaksa yang ringan, sudah membuat cap Pembela Penista itu menempel di Presiden. Pengambil alihan proyek reklamasi ke pusat juga sudah membuat Cap dibekingi 9 Naga melekat ke Jokowi. Sehingga dengan atau tanpa Ahok menjadi apapun di pemerintahan Jokowi, 2 cap itu sudah menempel di diri Presiden untuk para manusia yang rasis dan penuh kebencian itu. Orang-orang yang jumlahnya paling banyak hanya 25-30% dari masyarakat Jakarta.
Pertarungan di Jakarta juga memberikan sebuah bukti, bahwa pembiaran dan menyerahnya pemerintah terhadap serangan kotor, dan tuntutan vokal yang digawangi demo besar-besaran, terbukti tidak efektif dalam perang ini. Sampai saat ini masih tidak jelas keputusan mengenai orang-orang yang diciduk karena makar itu, atau bagaimana kabar kasus penistaan Pancasila.
Walaupun nanti Jokowi tidak akan diserang dengan isu perbedaan agama, tetapi secara prestasi, Pemerintahan Jokowi akan lebih mudah diserang para Oposisi itu. Karena kalau mau jujur melihat 2 Tahun Jokowi, walaupun sayapun merasa arahnya sudah benar, tetapi prestasi yang dicapai masih jauh dari maksimal.
Dari segi pertumbuhan ekonomi yang 5% saja sudah kalah dengan Pemerintahan SBY yang mencapai pertumbuhan 6%. Terlepas dari kondisi global yang memang kurang menguntungkan saat ini. Lalu apa kabar saber pungli? Apakabar juga Revolusi mental? Gini Ratio masih timpang, dan sertifikasi lahan yang berjalan pelan. Bahkan aksi yang tak toleran terhadap minoritas masih banyak terjadi. Dan kasus Korupsi yang tetap merajalela. Banyak hal dan data yang akan membenamkan Jokowi di 2019 mendatang. Sorry to say.. But thats the truth.
Taukah anda dampak lain dari kekalahan Ahok dalam Pilkada ini? Kekalahan Ahok, yang antikorupsi, bersih dan transparan, benar-benar menampar orang-orang lain yang memang benar-benar ingin mengabdi pada Negara. Orang-orang idealis dan jujur ini melihat sebuah preseden buruk di Jakarta, bahwa orang yang memperjuangkan Keadilan Sosial akan bernasib tragis, tidak lagi dipilih Rakyat, dan tidak dibela oleh pemerintahan yang sah, bagaimanapun kinerja dan pengabdiannya. Inilah sebuah preseden yang sangat buruk dalam Demokrasi Indonesia. Yang dapat meruntuhkan semangat para calon kepala daerah lain, yang mungkin akan mengurungkan niat mereka di pemilu 2018 nanti.
Karena Ahok adalah simbol utama antikorupsi dan reformasi birokrasi. Jendral perang yang benar-benar mengusahakan keadilan sosial di Tanah Air yang katanya berdasar Pancasila ini. Ketika Jendral dipukul mundur, maka otomatis semangat para prajurit akan kendur. Panglima harus kembali mengangkat Jendral itu untuk kembali bertarung dalam peperangan yang tinggal 2 tahun ini, untuk tetap mengobarkan semangat para serdadu. Untuk tetap berperang dengan militan, walau memang benteng Ibukota telah jatuh. Memberi tempat pada sang Jendral akan mengobati semangat para prajurit untuk tetap berjuang.
Saya tidak berlebihan dalam menilai Pak Ahok. Cari saja pejabat lain yang bisa mengunggah semua rapat pentingnya pada publik. Pejabat yang mau membuka semua data keuangan sampai lembar ketiga. Pejabat yang bekerja pagi sampai malam, dan masih mau mendengar keluhan warga setiap pagi di Balai Kota. Dan coba pikir dan ingat baik-baik. 2015 kemarin Ahok dengan sangat berani, menentang semua Parpol di DPRD DKI, demi menyelamatkan 12.1 Trilliun. Minimal angka itulah yang seorang Ahok dapat selamatkan setiap tahunnya dari APBD 70 Trilliun Pemprov DKI.
Mari bandingkan dengan prestasi sebuah lembaga yang katanya adalah garda terakhir antikorupsi di negara ini. Yang fungsinya menjaga 2000 Trilliun APBN negara ini. Prestasi terbesar mereka adalah e-KTP yang mengendus kerugian negara sebesar 2.6 Trilliun. Sebuah kasus yang baru diproses setelah 6 tahun terjadi, dengan kemungkinan tipis bisa mengembalikan uang 2.6 Trilliun tersebut.
Kehilangan seorang Ahok jauh lebih buruk dari kehilangan KPK jika kita melihat prestasi keduanya. 12.1 Trilliun terselamatkan dari 70 Trilliun per tahun, dibandingkan dengan 2.6 Trilliun yang mungkin bisa diselamatkan dari 2000 Trilliun APBN setelah berjalan 6 tahun. Panglima merumahkan sang Jendral, adalah sorak-sorai luar biasa bagi para Koruptor yang ikut bagian dalam kampanye hitam pada Pak Ahok kemarin.
Dan mari jangan pesimis. Ingat jumlah orang yang benar-benar membenci Pak Ahok paling banyak hanya 25-30% saja, karena 70-75% warga DKI, masih mengakui kinerja Ahok karena itulah tingkat kepuasan Warga DKI. Karena orang-orang yang rasis akut dan sangat membenci, tak mungkin mereka dapat memberikan apresiasi atas kinerja Gubernur kesayangan ini.
Jadi untuk Pak Jokowi, dan pemerintahan sekarang. Saya menganjurkan untuk kalian jangan pikirkan 2019, stop hanya membangun image dan bermain politik berlebihan. Strategi apapun, tidak akan menjamin Pakde untuk bisa bertahan di 2019 nanti, karena Anda adalah penguasa sekarang. Penguasa memang tidak dapat berlaku semaunya, karena bisa dicap diktator dan semena-mena. Stop juga untuk takut pada tekanan massa. Bekerjalah semaksimal mungkin untuk mengejar segala keterlambatan kalian dalam 2-3 Tahun ini. Buatlah sistem se-transparan mungkin, dan sistem yang akan sangat sulit untuk mereka korupsi, seperti tulisan saya sebelumnya (Baca). Sistem yang seorang Ahok hampir tuntaskan di DKI Jakarta. Dan pastikan sistem teruji itu bisa diterapkan di seluruh Indonesia.
Kerja-kerja-kerja, tegas dan berani, tetaplah berprinsip dan serahkan 2019 pada yang Kuasa.Dan jangan sekali-sekali kendur mempertahankan NKRI dan Bhineka Thunggal Ika. Bubarkanlah segala ormas dan gerakan anti Pancasila dari Bumi Pertiwi ini. Tak perlu takut karena negara ini memang ada karena Pancasila. Kembalikan fungsi rumah ibadah menjadi tempat suci yang semestinya. Cukuplah negara ini melihat berbagai simbol agama digunakan untuk kepentingan politik.