• Posted by : admin Biyernes, Mayo 12, 2017


    Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung H.M Prasetyo menyatakan jaksa naik banding atas vonis 2 tahun pidana penjara yang dijatuhkan kepada Ahok. Ada beberapa alasan hukum yang menyebabkan jaksa naik banding atas vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada Ahok, antara lain:



    Pertama, Jaksa telah menyadari majelis hakim telah mengabaikan sejarah panjang Pasal 156 a huruf KUHP. Pasal 156 a KUHP bukan merupakan pasal peninggalan KUHP Belanda (Wetboek van Strafrecht) yang masih berlaku hingga hari ini. Pasal 156 a KUHP diterbitkan melalui PNPS Nomor 1/1965, karena pada tahun 1965 ada perbuatan memasukkan kitab suci Alquran ke dalam karung dan untuk memadatkan isi karung, Alquran yang telah dimasukan itu diinjak-injak menggunakan kaki, dan menginjak-injak Alquran yang dilakukan nggota PKI saat itu mempunyai tujuan untuk membuat orang tidak menganut agama apa pun.

    Dan Pasal 156 a KUHP harus diberlakukan sebagai delik materil, yang artinya harus ada akibatnya dulu sedangkan penuntut umum yang menjadikan video pidato Ahok di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 sebagai salah satu alat bukti tidak dapat membuktikan adanya orang yang tidak menganut agama apa pun setelah Ahok selesai berpidato.

    Antara huruf a dan b dalam Pasal 156 a KUHP adalah satu-kesatuan yang tak terpisahkan karena huruf a bertalian dengan huruf b yang mensyaratkan adanya akibat yakni orang tidak menganut agama apa pun juga di Indonesia. Dan jaksa telah menyadari ini sehingga tidak menuntut Ahok dengan Pasal 156 a KUHP. Oleh karena itu nanti Pasal 156 a huruf a KUHP akan dimentahkan oleh penuntut umum dan mempertahankan Pasal 156 KUHP yang dituntutkan kepada Ahok.

    Nah akibat itulah yang dilihat jaksa tidak dapat dibuktikan jaksa sehingga jaksa membelokkan tuntutannya ke Pasal 156 KUHP. Namun kenyataannya majelis hakim memberlakukan Pasal 156 a KUHP sebagai delik formil yang secara otomatis memisahkan antara huruf a dan b dalam Pasal 156 a KUHP. Padahal jika memvonis Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penodaan agama sebaimana dalam Pasal 156 a huruf maka akibat dari perbuatan dalam huruf a  akan muncul sebagaimana dalam huruf b yakni orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan yang Maha Esa.

    Penuntut umum telah menyadari antara huruf a dan b tak terpisahkan dan tidak mudah membuktikan pasal penodaan agama karena sejarah diterbitkannya Pasal 156 a KUHP adalah disebabkan perbuatan penginjak-injakan Alquran. Jadi yang membuat jaksa banding adala disebabkan oleh majelis hakim yang berani mengabaikan sejarah terbitnya Pasal 156 a KUHP dan mengabaikan isi tuntutan penuntut umum yang menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP bukan dengan Pasal 156 a huruf a KUHP karena sulit sekali untuk bisa membuktikan penodaan agama.

    Kedua, Jaksa menyadari bahwa banyak yang tidak beres dengan pertimbangan hukum majelis hakim. Penuntut umum dalam Surat Tuntutan menguraikan Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penghinaan golongan tapi dalam pertimbangan majelis hakim sudah melenceng jauh dari uraian penuntut umum. Karena dalam diktum atau amar putusannya, majelis hakim mencantumkan pertimbangan hukum dengan kalimat: ‘’Dan karena Surat Almaidah ayat 51 itu adalah bagian dari kitab suci Alquran, maka dengan merendahkan, melecehkan dan menghina Almaidah ayat 51 sama halnya merendahkan, melecehkan dan menghina kitab suci Alquran’’. Kalimat ‘’menghina kitab suci’’ yang akan menjadi salah satu materi jaksa dalam kontra memori banding karena dalam tuntutan, penuntut umum tidak pernah menyebut ‘’menghina kitab suci’’.

    Jaksa melihat dan meyadari ada yang janggal dari pertimbangan hukum majelis hakim, karena dari semua pertimbangan hukum yang ada majelis hakim memuat kalimat ‘’menghina kitab suci Alquran’’ hingga berkali-kali dan hanya satu kali penyebutan ‘’penodaan agama’’. Padahal jika Ahok divonis dengan penodaan agama tidak ada kalimat ‘’menghina kitab suci’’. Dan yang disadari jaksa Pasal 156 a huruf a KUHP yang divonis kepada Ahok tidak ada kaitannya sama sekali dengan penodaan agama sebagaimana yang menjadi kesimpulan akhir majelis hakim yang menyatakan Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penodaan agama.



    Karena dalam Pasal 156 a huruf a tidak ada unsur ‘’penghinaan kitab suci’’ dan melihat isi pertimbangan hukum majelis hakim yang telah mengabaikan asas legalitas, maka jaksa memilih mengajukan banding atas vonis 2 tahun pidana penjara kepada Ahok. Karena vonis majelis hakim kepada Ahok bertentangan dengan asas legalitas dan vonis majelis hakim dengan menggunakan pasal 156 a huruf a KUHP yang dijatuhkan kepada Ahok tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum yang menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP bukan dengan Pasal 156 a huruf a KUHP.

    Ketiga, Jaksa merasa ada yang janggal dari vonis yang dijatuhkan kepada Ahok. Sesuai tuntutan penuntut umum Ahok dituntut 1 tahun dengan 2 tahun masa percobaan berdasarkan Pasal 156 KUHP tetapi majelis hakim justru memvonis Ahok 2 tahun pidana penjara dengan Pasal 156 a huruf a KUHP. Dan dalam banding, jaksa akan menyerahkan kontra memori banding untuk menjawab isi dari memori banding yang diajukan Ahok.

    Jaksa dalam kontra memori banding akan menguraikan bahwa majelis hakim tidak bisa memvonis Ahok dengan Pasal 156 a huruf a KUHP dikarenakan untuk memvonis Ahok sejarah pasal itu majelis hakim harus melihat kembali sejarah mengapa Pasal 156 a KUHP harus dikeluarkan pada tahun 1965 terlebih lagi ditambah dengan isi pertimbangan hukum majelis hakim pun telah disadari jaksa sudah terlalu jauh melenceng dari asas legalitas bahkan memvonis berdasarkan Pasal 156 a huruf a KUHP tetapi hampir 99% isi pertimbangan hukumnya keluar dari Pasal 156 a huruf a KUHP yang diyakini majelis hakim sudah terbukti pada Ahok.

    Selain poin-poin tersebut, jaksa juga akan menguraikan bahwa Ahok hanya bisa divonis dengan Pasal 156 KUHP tentang penghinaan golongan karena hanya Pasal 156 KUHP yang terbukti selama persidangan. Namun jaksa akan kembali menonjolkan argumentasi hukum bahwa yang termasuk golongan adalah ulama, kyai, ustad/ustadzah, mubaligh/mubaligah yang menyebarkan ajaran Islam.

    Tetapi lagi-lagi argumentasi hukum ini lemah dan itu akan dibiarkan lemah karena dalam hukum penggolongan penduduk hanya bredasarkan golongan Bumiputera , Timur Asing dan Eropa. Tidak ada golongan ulama, kyai, ustad/ustadzah, mubaligh/mubaligah. Arah jaksa mempertahankan argumen hukum yang sebelummya yakni memberikan kemudahan bagi majelis hakim banding untuk mengubah keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Jaksa akan mencantumkan kembali golongan sebagaimana dalam Pasal 156 KUHP yang ditafsirkan bahwa ulama, kyai, ustad/ustadzah, mubaligh/mubaligah masuk juga ke dalam golongan Pasal 156 KUHP adalah untuk memberi ruang bagi majelis hakim banding untuk menolak kontra memori banding karena apa yang diuraikan mengenai ulama, kyai, ustad/ustadzah, mubaligh/mubaligah tidak termasuk ke dalam golongan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 156 KUHP.

    Ahok bisa bebas di tingkat banding jika tidak ada intervensi dari pihak mana pun juga, namun jika ada intervensi lagi banding bisa menjadi blunder. Karena di sini posisi jaksa hanya ingin mempertahakan argumentasi hukumnya dengan Pasal 156 KUHP dan akan menyingkirkan argumen keputusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memvonis Ahok dengan Pasal 156 a huruf a KUHP. Dan secara hukum Pasal 156 KUHP yang akan kembali diargumenkan jaksa sudah tidak terbukti karena ada frasa ‘’golongan’’ , itu bisa dilihat dari isi tuntutan penuntut umum yang menafsirkan ulama, kyai, ustad/ustadzah, mubaligh/mubaligah yang menyebar ajaran Islam yang oleh penuntut umum duitafsirkannya masuk ke dalam golongan sebagaimana Pasal 156 KUHP.

    Argumen inilah yang lemah terlebih lagi dalam pidato Ahok tidak pernah menyebut salah satu dari ketiga golongan dalam penggolongan penduduk berdasarkan hukum di Indonesia. Karena untuk menghukum Ahok dengan Pasal 156 KUHP syaratnya Ahok harus menyebut salah satu dari tiga golongan penduduk di Indonesia. Disinilah kelemahan kontra memori banding jaksa. Jadi intinya nanti dalam kontra memori banding, jaksa akan memberikan kebebasan bagi majelis hakim banding untuk membebaskan Ahok ini berdasarkan fungsi banding yakni untuk mengoreksi kesalahan atau kekeliruan fakta perkara a quo. Karena vonis hakim Pengadilan Jakarta Utara sudah keliru dan salah mengenai fakta perkara a quo.



    Dan dalam sidang banding, tidak ada sidang terbuka dan terbuka untuk umum sebagaimana sidang di Pengadilan Negeri karena yang diperiksa oleh majelis hakim banding hanya berkaitan dengan dokumen-dokumen yang menyangkut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, memori banding dan kontra memori banding, jadi tidak ada lagi pembuktian sebagaimana pada Pengadilan Negeri. Sidang banding tidak lebih dari 3 bulan. Dan dalam waktu 3 bulan itu majelis hakim akan bersidang secara tertutup dengan memperlajari isi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, memori banding dan kontra memori banding, barulah setelah itu putusan banding dikeluarkan.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Bersatu NKRI - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -