• Posted by : admin Biyernes, Mayo 12, 2017


    Hari ini 19 tahun lalu, Jakarta membara. Tragedi atau kerusuhan Mei 1998 telah menimbulkan luka dan trauma,  setidaknya bagi siapa pun yang sempat menyaksikan dan mengalami peristiwa tersebut.  Saya berharap peristiwa serupa tidak terulang di saat ini dan nanti.

    Kerusuhan Mei 1998 diawali dengan tragedi Trisakti, yaitu tewasnya beberapa mahasiswa Universitas Trisakti yang tengah melakukan unjuk rasa menuntut Presiden (waktu itu) Soeharto mundur lantaran salah satunya (ekonomi) negara semakin ambruk.



    Saat kerusuhan terjadi, saya masih aktif sebagai wartawan di sebuah surat kabar nasional. Berbagai peristiwa yang terjadi mengawali tragedi Mei kami pantau, tidak saja untuk kami seleksi guna dijadikan berita, tetapi juga untuk keamanan kami. Maklum, situasi Jakarta dan sekitarnya (terutama Tangerang dan Bekasi) saat itu benar-benar tidak kondusif, bahkan kacau balau.


    Penjarahan dan pembakaran gedung terjadi di mana-mana. Para iblis saat itu benar-benar berkuasa dan menunjukkan taring dan tanduknya. Mereka menguasai pikiran dan tindakan sebagian warga Jakarta yang tanpa merasa bersalah dan berdosa menjarah toko, mal, pasar swalayan dan rumah warga yang waktu itu dianggap “pantas” dimusuhi padahal mereka tidak tahu apa-apa.

    Bak kawanan perampok yang sukses menjalankan operasi kejahatan, warga Jakarta yang sebelumnya baik-baik dan mungkin taat beribadah, bersuka cita tertawa dan bangga saling bercerita berhasil menggondol barang jarahan dari sebuah toko milik warga keturunan Tionghoa.

    Alamak, ada pula warga yang bangga karena berhasil menjarah kompresor milik penambal ban di tepi jalan atau peralatan kantor sebuah toko yang mereka sendiri tidak tahu akan digunakan untuk apa.

    Jakarta 13 Mei 1998 benar-benar genting. Aparat keamanan memberlakukan siaga satu. Manajemen perusahaan surat kabar kami mengeluarkan instruksi semua karyawan tidak boleh meninggalkan kantor. Hari itu kami bermalam di kantor sambil terus memantau perkembangan situasi melalui radio dan telepon kawan-kawan yang berada di lapangan. Harap maklum, waktu itu belum ada stasiun televisi berita, apalagi media sosial, grup WA atau BBM.

    Tanggal 14 Mei 1998 sekitar pukul 05:00, saya dan teman-teman yang kebetulan tinggal di Tangerang memberanikan diri pulang. Berkonvoi naik sepeda motor, kami melewati kawasan Kebon Jeruk dan Jl Daan Mogot, Jakarta Barat.

    Suasana pagi itu masih mencekam. Tak satu pun mobil yang melintas di jalan tersebut. Kalau pun kami melihat mobil dan sepeda motor di Jl Daan Mogot, kendaraan tersebut tidak sedang melintas, tapi teronggok di tengah jalan dalam posisi terbakar atau bekas terbakar. Sungguh, saya tidak bisa membayangkan seperti apa peristiwa dan nasib yang dialami para pemilik kendaraan tersebut. Ngeri.

    Gedung berlantai delapan tempat kantor Amway di Jl Daan Mogot masih mengepulkan asap hitam. Gedung ini rupanya juga dibakar massa yang mengamuk tanpa sebab kecuali menuruti hawa nafsu setan.

    Satu SPBU di jalan tersebut — lokasinya dekat dengan perbatasan DKI Jakarta-Tangerang — juga sudah gosong. Ada seorang teman yang bensin sepeda motornya nyaris habis. Beruntung di kawasan Poris Tangerang ada pedagang eceran bensin yang pagi-pagi sudah membuka kiosnya. Sang pedagang kami anggap sebagai malaikat penolong.

    Setan yang merasuki para perusuh masih leluasa menari-nari. Tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan belum berakhir. Naluri kewartawanan saya mendorong saya untuk mengetahui apa yang terjadi di luar rumah.

    Masya Allah, warga kota Tangerang yang tinggal di perkampungan ikut-ikutan melakukan aksi brutal. Fasilitas umum milik pemerintah dirusak. Telepon umum yang waktu itu banyak terpasang di tepi jalan dicabut. Mereka juga melempari show room mobil Auto 2000 di ujung Jl Daan Mogot, Tangerang.

    Saya mendengar ada provokator (berjenggot) yang mengajak warga untuk membakar sebuah gereja yang lokasinya tak jauh dari tempat mereka berkumpul.

    Ya ampun! Mereka serius. Berbondong-bondong, mereka menuju ke Gereja Pentakosta di kawasan Tanah Tinggi. Mereka memaksa membuka pintu pagar gereja. Profesi wartawan saya tinggalkan. Sebagai warga negara, saya berteriak kepada perusuh: “Jangan! Jangan bakar gereja ini.”

    Mereka tidak peduli. Saya melihat seorang lelaki paruh baya berjenggot dan becelana cingkrang masuk ke ruang ibadah dan bersama teman-temannya mengangkat alat musik (organ) ke halaman gereja, lalu membakarnya setelah lebih dulu dibanting-banting.

    Lelaki tadi kemudian menyalakan korek api gas dan berencana meluluhlantakkan gereja dengan membakar gorden. Melihat itu, saya hanya bisa berkata: “Sudah Pak. Jangan, jangan!”

    Begitu api sudah menyala, lelaki itu pergi dan saya masih sempat mendengar ada orang yang berteriak: “Di belakang ada gereja lagi. Ayo ke sana!”

    Beruntung api yang menyulut gorden tidak sempat membesar, sehingga gereja tidak terbakar. Saat itu di gereja ada anak muda (petugas gereja) yang mengamankan situasi. Dia kemudian membantu mendorong kursi roda yang diduduki oma-oma meninggalkan gereja.

    Setelah situasi terkendali, saya kemudian mengajak petugas gereja berdoa: “Ya Tuhan ampuni mereka sebab mereka tidak tahu apa yang dilakukannya.”

    Setelah itu saya kembali keliling kota Tangerang naik sepeda motor. Waktu itu saya dibekali dengan sebuah HT (handy talky) dan melaporkan peristiwa yang saya lihat ke teman-teman di redaksi untuk bahan pemberitaan.

    Di sepanjang perjalanan, di ujung-ujung jalan, warga berkerumun. Mereka meneriaki para pengendara sepeda motor, termasuk saya, yang kebetulan melintas di depan mereka agar membuka helm. “Buka, buka, buka!” teriak mereka.

    Kerusuhan Mei memunculkan luka dan trauma. Hari itu saya mendapat kabar anak tetangga di RW sebelah tewas terbakar saat berada di Mal Karawaci. Besar kemungkinan dia ikut-ikutan menjarah di mal tersebut.

    Sejumlah warga Ciledug Tangerang juga kehilangan anak-anak mereka yang terkurung api dan terbakar di Toko Ramayana. Siang hari saat akan ke kantor, melintas di Mal Puri Indah, saya masih melihat ada beberapa anak muda yang membawa barang jarahan sedang bingung mencari angkutan.

    Kerusuhan 13 dan 14 Mei — masih berlanjut 15 Mei dengan skala yang lebih kecil — melahirkan peristiwa yang tidak enak dan kepanikan yang luar biasa, yaitu krisis moneter. Nilai rupiah anjlok. Harga-harga melambung tinggi nyaris tak terkendali.



    Saat kerusuhan Mei, dua anak saya masih kecil. Stok beras dan susu di rumah sudah habis. Kami bingung bagaimana harus menyambung hidup, terutama kedua anak kami. Kami selaku orang tua bingung sebab semua toko tutup. Para pemilik toko khawatir barang-barangnya dijarah.

    Dalam situasi seperti itu, manakala saya melihat ada toko yang buka, saya merasakan pintu toko tak ubahnya adalah pintu surga. Bahan makanan yang kami tanyakan lebih dulu adalah beras dan susu. Yang kami pikirkan adalah kebutuhan makan anak-anak kami. Kami tidak peduli dengan harganya yang otomatis melambung tinggi.

    Saya percaya, bukan cuma saya, mereka yang pernah menjadi saksi mata tragedi Mei pasti tidak ingin peristiwa semacam itu terulang, apa pun latar belakang pemicunya.


    Hari ini 13 Mei 2017 negara kita dalam kondisi aman dan damai. Presiden Joko Widodo dan pemerintahan yang dipimpinnya kini terus bekerja membangun negeri ini ke depan agar lebih maju demi kesejahteraan rakyatnya. Ia tidak lelah berkeliling daerah agar pembangunan yang telah direncanakan tidak menyimpang.

    Kita tidak bisa menutup mata, berbagai ketimpangan masih ada, seperti kemiskinan, pemerataan pendidikan, pemerataan kesejahteraan sosial dan sebagainya. Pekerjaan belum selesai.

    Membangun untuk memajukan negeri tidak semudah kita membalikkan telapak tangan. Beban tugas yang kini berada di pundak Jokowi tidak ringan. Kewajiban kita bersama untuk menopangnya, bukan malah menjatuhkannya.

    Jokowi adalah pilihan rakyat. Kita memilih dia karena kita menaruh harapan kepadanya. Buat Anda yang tidak memilihnya pada Pilpres 2014, bersikaplah sebagai seorang demokrat sejati yang menghormati proses demokrasi. Beri kesempatan kepada Jokowi untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas-tugasnya.

    Selayaknya partai-partai yang mendukung Jokowi mulai hari ini dan seterusnya duduk bersama membantu Jokowi untuk mengevaluasi dan merancang serta berstrategi menuntaskan tugas-tugas dan program yang belum 100 persen selesai.

    Kita tetap harus ingat dan waspada bahwa ada pihak-pihak yang tampaknya berharap Jokowi gagal dalam merampungkan tugas menyejahterakan rakyat, lalu mencari gara-gara seolah-olah konstitusional untuk menghentikannya di tengah jalan.

    Terhadap orang-orang seperti ini, sudahlah rakyat sudah tahu. Berdalih apa pun, orang waras tetap akan menertawakan Anda. Bersabarlah. Jagalah etika. Silakan Anda jadi pecundang, itu hak Anda, tapi eleganlah. Bersikaplah layaknya seorang ksatria. Jangan seperti Sengkuni yang doyan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

    Hari-hari ini pasca vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara kepada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), masyarakat di Indonesia dan negara-negara lain yang merindukan keadilan melakukan aksi simpatik memberikan cahaya di tengah kegelapan.

    Ratusan ribu manusia (mungkin jutaan) di berbagai kota di Indonesia dan negara lain berbondong-bondong tanpa komando menyalakan lilin. Mereka bersatu dalam keberagaman. Sebatang lilin bisa memberikan terang meskipun ia rela tubuhnya hancur.


    Itulah representasi seorang tokoh yang kini harus rela mendekam di penjara selama dua tahun setelah mengabdikan dirinya untuk masyarakat sebuah kota. Ibarat lilin, sang tokoh rela tubuh dan kehormatannya dihancurkan.

    Sudah… sudah. Cukup, aksi jutaan lilin akhiri saja sampai di sini. Masyarakat di negeri ini dan negeri-negeri lain sudah bisa merasakan pekatnya kegelapan dan sinar terang.

    Jika terus dilanjutkan, aksi seperti itu justru akan mengundang orang-orang yang tidak senang untuk berbuat onar dengan cara menyusup ke kerumunan orang yang merindukan keadilan karena mereka memiliki hati dan nurani.

    Apa pun tuntutan Anda, vonis dua tahun tidak mungkin dicabut atau dibatalkan. Harapan memang masih ada, yaitu banding. Persoalannya, yakinkah Anda para hakim pengadilan tinggi masih punya hati nurani meskipun dalam memutuskan perkara, para hakim sesungguhnya adalah representasi Tuhan?

    Sudahlah. Jangan undang provokator untuk membuat kerusuhan dan peristiwa 19 tahun lalu terulang. Amit-amit, saya tidak sudi peristiwa memilukan dan memalukan itu terjadi lagi.


    Masyarakat sudah tahu, kok, ibarat bulan purnama, yang dipenjara itu sesungguhnya adalah bulan purnamanya, sedangkan sang cahaya tak mungkin terpenjara. Cahaya purnama itu kini tinggal diam menyinari batin kita.



    Kini pulanglah dengan damai. Semoga damai sejahtera Tuhan menyertai kita, dan ayo kita bantu pemerintahan Presiden Jokowi, sehingga rakyat, saudara-saudara kita ikut merasakan sejahtera. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang, kapan lagi?
    Saatnya kita belajar dari sebatang lilin yang memberikan cahaya meski tubuhnya hancur.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Bersatu NKRI - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -