• Posted by : admin Linggo, Mayo 14, 2017


    REPUBLIKA.CO.ID dan OKEZONE.COM telah menyesatkan mengenai status Ahok pascavonis 2 tahun pidana penjara. Bahkan Ketua Umum Aliansi Advokad Muslim NKRI Al Katiri yang menyatakan bahwa penangguhan penahanan Ahok sudah tidak dapat ditangguhkan lagi juga pernyataan hukum yang menyesatkan, dikarenakan:

    Kepada media online REPUBLIKA.CO.ID dan OKEZONE.COM serta pembaca-pembacanya yang harus dipahami bahwa hingga hari ini status Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok masih berstatus sebagai terdakwa bukan sebagai terpidana. Menjadi terpidana jika Ahok tidak mengajukan banding. Catat itu!. Status Ahok bukan sebagai terpidana dan bertatus sebagai terdakwa pascavonis ini bisa dilihat dari BAB IV tentang tersangka dan terdakwa yakni pada Pasal 67 KUHAP yang memberikan kesempatan bagi Ahok sebagai terdakwa untuk mengajukan banding. Dengan Ahok mengajukan upaya hukum banding maka vonis Pengadilan Negeri Jakarta Utara belum berkekuatan hukum tetap/inkracht van gewisjd dan sampai hari ini  Ahok bukan terpidana.

    Ketua Umum Aliansi Advokad Muslim NKRI Al Katiri yang menyatakan bahwa ‘’ketika pengadilan menjatuhkan putusan , maka kewenangan melekat pada majelis hakim sebagaimana yang dimaksud Pasal  193 ayat (2) KUHAP. Ada dua opsi kewenangan yang dimiliki hakim setelah menyelesaikan proses perkara. Opsi pertama, ketika Ahok tidak ditahan , maka hakim dapat memerintahkan Ahok untuk ditahan, apabila memenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup. Ini yang telah dilakukan hakim saat memvonis Ahok. Opsi kedua, jika seandainya Ahok ditahan, hakim dalam putusannya dapat memerintahkan Ahok tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya jika ia tidak terbukti bersalah’’.

    Al Katiri juga menegaskan bahwa: ‘’perintah pengadilan yang serta merta menahan Ahok dalam rutan harus dimaknai sebagai keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law) sehingga tidak boleh diabaikan. Karena majelis hakim telah benar menerapkan norma hukum bahwa faktanya Ahok sebelumnya belum pernah ditahan. Maka, pada saat putusan pemidanaan dijatuhkan sektika itu pula perintah penahanan dibacakan dalam amar putusan’’.

    Argumentasi hukum Ketua Umum Aliansi Advokad Muslim NKRI di atas sangat memalukan, karena menyatakan ‘’perintah pengadilan yang serta merta menahan Ahok dalam rutan harus dimaknai sebagai keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law) sehingga tidak boleh diabaikan’’. Hakim tidak memiliki keharusan hukum yang bersifat memaksa menahan Ahok itu ditegaskan dalam Pasal 193 ayat (2)  huruf a KUHAP, jadi dimana pasal dalam KUHAP yang menyatakan hakim memiliki keharusan hukum yang bersifat menahan terdakwa setelah dinyatakan bersalah? Jadi,  jika Al Katiri menyatakan dengan argumen yang tak berbobot tersebut, dimana pasalnya dalam KUHAP?

    Karena Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP dengan tegas menyatakan: ‘’Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 KUHAP dan terdapat alasan yang cukup untuk itu’’.

    Apa arti dari frasa ‘’ dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan’’ sebagaimana dalam Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP? Artinya, penahanan tidak wajib dilakukan tetapi ‘’penahanan dapat dilakukan’’ dan dapat pula ‘’tidak dilakukan penahanan’’. Dengan adanya frasa ‘’dapat’’ , hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak memilliki kewajiban atau keharusan menahan Ahok. Karena Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP tidak mewajibkan hakim menahan Ahok. Karena Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP hanya memuat frasa ‘’dapat’’ bukan ‘’wajib’’. Jadi tidak ada kewajiban menahan Ahok.



    Dan mengaitkan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP dengan Pasal 21 ayat (1) KUHAP: ‘’Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

    Jika Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang jadi dasar penahanan terhadap Ahok padahal menurut Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP penahanan dapat dilakukan (tidak wajib, bisa ditahan bisa tidak ditahan), maka timbul pertanyaan, kekhawatiran apa yang membuat hakim memerintahkan Ahok ditahan? Melarikan diri? Jika Ahok ingin melarikan diri maka sudah lama Ahok melarikan diri sejak timbulnya kegaduhan yang ditimbulkan Buni Yani lalu kemudian dikait-kaitkan dengan Ahok , tapi faktanya Ahok sampai sidang berkali-kali (Ahok tidak ditahan) sampai vonis pun tetap hadir di persidangan dan tidak berusaha sedikit pun untuk melarikan diri. Bahkan terang-terangan ada di Balai Kota untuk tetap melayani walau dihantam habis-habisa.

    Jadi tidak logis rasanya menahan Ahok jika alasannya khawatir melarikan diri. Menghilangkan barang bukti/merusak barang bukti? Barang bukti apa lagi yang bisa dirusak/dihilangkan Ahok? toh hakim telah memvonis Ahok bersalah , untuk apa lagi menghilangkan/merusak barang bukti jika dalam vonis sudah divonis bersalah? Tidak logis menahan Ahok jika alasannya khawatir Ahok akan menghilangkan/merusak barang bukti . Mengulangi perbuatan? Selama persidangan hingga vonis Ahok tidak pernah mengulangi perbuatannya. Jadi apa alasan menahan Ahok sementara Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP menyatakan sekalipun divonis bersalah, hakim dapat memerintahkan penahanan, ingat loh ya ‘’dapat” bukan ‘’wajib’’.

    Al Katiri juga makin memalukan dengan menyatakan bahwa ” secara hukum upaya penangguhan penahanan tidak dapat diterima. Penangguhan penahanan hanya dapat dilakukan dalam tahap penyidikan sampai proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 31 ayat (1) KUHAP’’, kata Alkatiri.

    Sekali lagi, pernyataan Ketua Umum Aliansi Advokad Muslim NKRI Al Katiri adalah sangat memalukan dan menyesatkan dikarenakan apa yang disampaikannya mengenai Pasal 31 ayat (1) KUHAP adalah sama sekali tidak benar dan menyesatkan karena penangguhan penahanan bisa dimintakan di setiap tingkatan hal itu bisa dilihat dari Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik  atau penuntut umum atau hakim sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan orang atau jaminan uang’’.

    Frasa ‘’hakim’’ dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP adalah hakim di semua tingkatan dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan hakim agung pada Mahkamah Agung. Jadi, penangguhan penahanan Ahok tetap bisa dilakukan dikarenakan Pasal 31 ayat (1) KUHAP  yang menjadi dasar hukum penangguhan penahanan bagi Ahok. Dikabulkan atau tidak penangguhan penahanan Ahok, ini bergantung pada ketakutan terhadap Ahok. Jika tidak ada intervensi maka penangguhan penahanan Ahok pasti dikeluarkan melalui penetapan Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atau majelis hakim banding yang akan menangani perkara banding Ahok.

    Dan jika Alkatiri menyatakan bahwa permintaan penangguhan penahanan sudah tidak bisa lagi karena permintaan itu hanya sampai pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan,  ini juga memalukan karena hal itu tidak ada dalam KUHAP.  Dalam KUHAP hanya mencantumkan frasa “hakim”,  hakim disini hakim di semua tingkatan. Hakim di semua tingkatan bisa mengabulkan penangguhan penahanan.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Bersatu NKRI - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -