• Posted by : admin Miyerkules, Abril 26, 2017


    Ahok-Djarot seperti memutar balikan pandangan buruk mengenai yang namanya seorang pemimpin kebanyakan. Jika merupakan hal biasa, saat pelantikan pemimpin baru bunga-bunga ucapan selamat diberikan dari pihak-pihak seperti perusahaan dan instansi, hal tersebut semata-mata hanya ungkapan selamat sebagai formalitas saja.

    Berbeda dengan Ahok-Djarot, disaat beliau berdua lengser dari kursi pimpinan, banyak yang memberikan papan bunga bak pahlawan sebagai ucapan terima kasih untuk semua pengabdiannya. Dan tentu saja papan ucapan tersebut bukan sekedar formalitas saja. Papan bunga tersebut mewakili kecintaan rakyat terhadap pemimpinnya, karena Ahok bukan lagi pemimpin DKI, jadi tidak ada kepentingan untuk menjilat dengan memberikan papan bunga.



    Selain pemimpin, Ahok juga dianggap sebagai pelayan masyarakat yang baik, hal tersebut terbukti dengan tingginya tingkat kepuasan publik di DKI Jakarta. Tetapi sangat sial, mengapa orang sebaik Ahok yang menggunakan kepintarannya untuk melayani masyarakat di lahirkan dari rahim kelompok minoritas di negeri ini. Jika saya boleh menuntut, saya berharap Ahok dilahirkan di rahim kelompok mayoritas negeri ini yang masih gampang terpengaruh dengan sentimen SARA.

    Beberapa tulisan ungkapan hati dari masyarakat sangat polos membuktikan kesedihan kehilangan pemimpin sekaligus pelayan yang baik.

    “Pak Ahok mantan terindah. Jakarta membuang sebutir berlian. Dari kami yang kecewa Pak Ahok dizholimi”.

    “Pak Ahok dan Pak Djarot terima kasih. Hanya kalian di hati kami. Takan pernah tergantikan”.

    “To Pak Ahok dan Pak Djarot. Thank you for all the works you have done. We are so proud of you”.

    Pesan tersebut kutipan dari ucapan di papan bunga, dan masih banyak ungkapan hati lainnya.


    Tidak hanya banjir bunga, ada kue miniatur Ahok-Djarot disertai ikan-ikan kecil dari film Finding Nemo ada di sekitar miniatur tersebut.

    Mengapa nemo? Karena ahok tidak bisa digambarkan sebagai sosok raja dalam sebuah kisah film. Dia hanya seperti nemo, si ikan kecil, seperti yang diungkapkan dalam pleidoi sidang lanjutan di auditorium Kementerian Pertanian (Kementan).

    “Nemo yang tahu, Nemo minta berenang berlawanan arah, kira-kira orang nurut nggak? Nggak nurut awalnya,”

    Akhirnya, ikan-ikan itu menuruti kemauan Nemo untuk berenang ke bawah dan terbebas dari jaring nelayan.

    “Lalu begitu terlepas, ada nggak ikan yang berterima kasih ke Nemo yang terkapar pingsan? Tidak ada,”

    Jadi inilah yang harus kita lakukan, sekalipun kita melawan arus semua, melawan semua orang berbeda arah, kita harus tetap teguh. Semua tidak jujur, nggak apa-apa, asal kita sendiri jujur. Mungkin setelah itu tidak ada yang terima kasih sama kita, kita tidak peduli karena Tuhan yang menghitung untuk kita, bukan orang,”

    “Banyak orang tanya ke saya, kamu siapa, saya bilang saya hanya seekor ikan kecil Nemo di tengah Jakarta. Ini pelajaran untuk kita, lalu disambut tepuk tangan anak-anak, sambutan anak-anak kecil memberikan saya penghiburan dan kekuatan baru, melawan arus menyatakan kebenaran,”


    Selain banjir bunga, banjir manusia juga terjadi di balai kota. Hari ini warga DKI Jakarta yang berniat mengadu terkait permasalahan harus mengalah. Para pengunjung menyambut kedatangan Ahok di balai kota. Warga tidak hanya menyemut di pendopo, tetapi sampai lorong bagian belakang Balai Kota.

    Selain Gusdurian, mungkin Ahoker kembali menjadi sebuah ungkapan untuk orang-orang yang ingin melakukan hal baik untuk negara yang berujung pada kebaikan bagi sesama manusia tanpa memandang SARA.

    Pilkada sudah selesai, dan rasionalitas dikalahkan dengan RASIS, hal tersebut tidak bisa ditutup-tutupi, karena sudah menjadi rahasia publik. Selain ancaman masuk neraka, ancaman tidak menshalati jenazah mewarnai pilkada DKI.

    Berjuta alasan dan fitnah digunakan sebagai alat menenggelamkan pemimpin baik di negeri ini. Berbagai ancaman dan doktrin untuk menghempaskan pemimpin baik dari negeri ini. Itulah alasan, Ahoker harus terus ada dengan perjuangan yang berbeda, mengawal negeri ini dari berbagai ancaman yang merongrong, baik dari rongrongan korupsi sampai rongrongan terhadap NKRI yang dilakukan oleh kaum bumi datar.

    Rongrongan yang sangat berbahaya juga adalah rongrongan terhadapan rasionalitas yang merupakan cermin kewarasan.

    Apakah tingkat rasionalitas warga Jakarta rendah? Saya rasa tidak juga, mungkin perlu sedikit keberanian dan keluar dari zona nyaman. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase golput, sampai ungkapan beberapa teman” walaupun saya mendukung Ahok, saya ingin damai, saya tidak mau ada kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang radikal karena Ahok menang, jadi saya tidak memilihnya”.

    Ya, itu juga baru asumsi dan opini, yang lalu biarlah berlalu, yang terpenting saat ini, mari kita dukung pemerintahan secara menyeluruh, baik pusat maupun daerah, dengan mengawalnya. Jika baik, kita dukung, jika buruk, kita hantam.

    Salam NKRI kawan, tetap eling lan waspada.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Bersatu NKRI - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -