Posted by : admin
Miyerkules, Abril 26, 2017
Pilkada serentak 2017 telah berlalu dengan berakhirnya pemilihan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua Rabu (19/04/2017) lalu. Perhelatan Pilkada tahun ini yang paling menyita perhatian bangsa Indonesia tentu pelaksanaan di Jakarta, sedangkan di daerah lain hampir tidak tersorot media nasional. Banyak hal yang terjadi dan bisa dijadikan pelajaran bagi semua baik pemerintah, pelaksana pemilu, kontestan Pilkada, Parpol-parpol pendukung yang berlaga, relawan dan simpatisan, bahkan masyarakat awam sekalipun.
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dan Pemerintahan merupakan pusat perekonomian di Indonesia yang menjadi magnet untuk perebutan kekuasaan. Pertarungan yang terjadi di Ibu Kota Jakarta penuh dengan konflik kepentingan. Sebagai etalase nasional, Jakarta menjadi pusat terkumpulnya para elit politik, bahkan para cukong-cukong besar yang diindikasikan turut berada dibelakang para elit-elit politik maupun paslon peserta menjadikan Pilkada DKI 2017 suatu pertarungan penuh emosi dan intrik. Bahkan pertarungan pada Pilkada DKI ini digadang-gadangkan ibarat pertarungan awal menuju pertarungan perebutan kekuasaan pada Pilpres 2019.
Hasil Pilkada DKI Jakarta yang hampir dipastikan dimenangi oleh Anies-Sandi menjadi tolok ukur dan bahan pelajaran bagi demokrasi Indonesia saat ini. Pertarungan Ahok-Djarot melawan Anies-Sandi saat itu kita ketahui merupakan pertarungan antara dua kubu yang sangat berseberangan atau bertolak belakang. Pertarungan paham nasionalis melawan paham khilafah, pertarungan antara kubu faktor rasional dengan faktor emosional, pertarungan kubu toleran melawan kubu intoleran. Kemenangan Anies-Sandi tidaklah sempurna karena menurut kita tercoreng oleh banyaknya kampanye provokasi berbau SARA yang menyerang sisi primordial Ahok sendiri maupun menyerang pendukung-pendukung Ahok-Djarot sesama muslim serta intimidasi pada saat kampanye maupun pencoblosan oleh pendukung Anies-Sandi terhadap pendukung Ahok-Djarot, bahkan dugaan keberpihakan penyelenggara pemilu itu sendiri.
Membaca kemenangan Anies-Sandi, kita dapat sedikit menganalisa demografi khususnya warga Jakarta dan Indonesia umumnya. Hal ini menjadi acuan karena Jakarta yang merupakan kota besar menjadi pusat terkumpulnya hampir seluruh suku, ras, dan golongan bangsa Indonesia. Jika kita membaca data pemilih pada Pilkada Jakarta, pemilih Ahok-Djarot diperkirakan sekitar 2,2 juta pemilih atau berkisar 42% dari suara yang sah, Anies-Sandi diperkirakan sekitar 3,3 juta pemilih atau berkisar 58% dari suara yang sah, dan pemilih golput sekitar 1,7 juta orang. Untuk pemilih yang golput bisa banyak alasan seperti netral tidak mau memilih diantara pasangan yang ada, tidak berada di Jakarta sewaktu tanggal pelaksanaan pemilihan, takut intimidasi dan dipersulit untuk memiliih, dan lain sebagainya.
Jika kita bedah kalkulasi mengenai perhitungan jumlah pemilih faktor rasional dengan faktor emosional di Jakarta, jumlah DPT dari KPUD DKI sekitar 7,2 juta orang, pemilih Anies-Sandi sekitar 3,3 juta orang yang artinya 45,8 % sedangkan pemilih Ahok-Djarot sekitar 2,2 juta orang yang artinya 30,6 % dan tidak memilih sekitar 1,7 juta orang atau artinya 23,6 %. Jadi yang dapat kita ambil kesimpulan warga Jakarta yang benar-benar mengutamakan penilaian rasional terhadap seseorang hanya sepertiga bagian saja dari keseluruhan. Sungguh tragis juga kl kita lihat masyarakat di kota besar begitu, tetapi inilah kenyataan dan watak masyarakat kita di Indonesia umumnya.
Dari sisi demografi itu kita dapat melihat secara gamblang bagaimana pola pikir rakyat Indonesia pada umumnya, bagaimana sisi positif maupun sentimen negatif yang mempengaruhi tingkat emosional rakyat Indonesia. Untuk masyarakat kota seperti Jakarta saja masih besar persentase pemilih berdasarkan faktor emosional atau perasaan daripada faktor rasionalitas, bisa dibayangkan bagaimana lagi besarnya faktor tersebut jika di daerah-daerah kota kecil atau kampung-kampung, pedesaan, pinggiran dimana tingkat pendidikan yang lebih rendah daripada masyarakat kota besar? Ibaratnya masyarakat Indonesia lebih suka nonton film sinetron yang kurang mendidik, bertele-tele, bahkan cerita yang terlalu mengada-ada dan terkesan kurang berkualitas dibandingkan menonton film dokumenter, sejarah, ataupun acara-acara berkualitas lainnya.
Permainan isu-isu oleh tim Anies-Sandi terhadap Ahok memang sangat dahsyat, bahkan terorganisir dengan hebat. Efeknya dirasakan sangat besar dan akhirnya Ahok terjungkal di Pilkada DKI. Contohnya Ahok tidak terbukti menistakan Agama seperti yang dituduhkan, JPU hanya menuntut Ahok dengan pasal 156 KUHP yang mengenai pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia. Isu Ahok pembela pengembang, korupsi, tenaga kerja asal China yang akan menyerbu dan menguasai lapangan kerja di Indonesia, bahkan sampai partai pendukung Ahok dituduh PKI. Juga sempat ada isu pemecahbela kebhinnekaan kita dihembuskan oleh mereka dengan mengangkat tema pribumi-non pribumi. Semuanya begitu intens disebarkan oleh tim Anies-Sandi. Walau kita tahu semua itu tidak benar, tetapi masyarakat bawah begitu mudah mempercayai isu-isu yang dihembuskan tanpa memastikan kebenarannya. Itulah kondisi masyarakat Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya. Kekalahan Ahok-Djarot karena sentimen SARA yang dibakar dengan api fitnah yang membara.
Kita perhatikan ormas-ormas Islam berhaluan keras yang selalu mengumandangkan ideologi khilafah dengan menjalankan sistem syariah mendukung dibelakang Anies-Sandi. Keberadaan mereka yang semakin berkembang membuat kekhawatiran bagi rasa kebangsaan Indonesia. Tingkat keresahan itu sudah cukup mengusik, tingkat kerawanan dan teror yang terus bertambah. Bahkan propaganda-propaganda yang mereka lakukan menjadikan NKRI bersyariah sudah sangat meresahkan. Terdapat euforia kemenangan Anies-Sandi yang membuat mereka mulai berani terang-terangan menyebarkan pemahaman mereka ke seantero Indonesia khususnya di daerah Pulau Jawa. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan radikal dan intimidasi pada orang-orang yang berseberangan paham dengan mereka. Bahkan beberapa pentolan mereka sudah ada yang ditangkap dengan tuduhan perbuatan rencana makar, disamping segelintir orang juga yang telah ditetapkan sebagai tersangka namun belum diproses lanjut oleh pihak kepolisian.
Untuk Ahok sendiri ini merupakan pelajaran penting dalam hidupnya. Kultur orang Indonesia yang masih menonjolkan tata krama termasuk dalam hal berbicara. Ahok dapat belajar merubah cara berbicaranya dengan standar Bahasa Indonesia yang baik dan benar (contoh pemakaian kata lu dan gue yang lebih bagus membiasakan dengan mengucapkan saya, anda atau kamu). Cara berkomunikasi yang benar dimana harus bisa melihat situasi dan kondisi seperti dalam hal memarahi siapa saja (anggota legislatif, PNS Pemprov, ataupun warga yang ngeyel) tidak harus di muka umum. Ahok harus bisa menghilangkan kesan arogansi yang dilekatkan orang pada sosok pribadinya, walaupun kita tahu bahwa Ahok memiliki hati yang lembut terhadap warga tetapi keras pada orang yang melanggar aturan.
Banyaknya perkiraan lembaga survey ataupun pakar yang salah menilai warga Jakarta yang rasional melihat seorang pemimpin berdasarkan kinerja, bukti nyata Pilpres Amerika Serikat yang dimenangkan oleh Donald Trump menunjukan rakyat Amerika yang termasuk negara maju juga memilih berdasarkan hubungan emosional bukan rasional semata apalagi negara Indonesia yang masih termasuk negara berkembang dimana masih besarnya ketimpangan tingkat sosial, ekonomi, dan pendidikan rakyatnya. Orang yang rasional sekalipun jika berhubungan dengan emosional bisa menjadi tidak rasional.
Ahok memiliki jiwa pekerja yang handal, hati yang tulus dalam melayani dan mengabdi. Namun Ahok bukan politisi yang pandai bersandiwara. Bersandiwara bukan berarti harus ikut terjerumus dalam kekotoran perpolitikan Indonesia. Contohnya cara bersikap Ahok harus bisa lembut didepan tetapi tetap tegas anti korupsi, berpihak pada rakyat, tidak KKN dan membuat program-program pro rakyat. Lembut dalam menyelesaikan masalah seperti halnya Presiden Jokowi, langkah senyap tetapi mematikan. Ini yang harus dipelajari Ahok jika ingin eksis dalam perpolitikan Indonesia.
Kepolosan berpolitik Ahok inilah yang membuat dia gampang dijatuhkan. Tidak bisa kita pungkiri, keberpihakan ahok pada rakyat dengan banyak program pro rakyat masih dapat dikalahkan oleh segelintir elit politik dan konglomerat. Dengan sokongan dana yang tidak terbatas ditambah kekuasaan elit-elit politik, mereka dapat menggerakan ormas-ormas Islam berhaluan keras untuk menjatuhkan Ahok, intimidasi hingga bersikap radikal. Akhirnya masyarakat Jakarta larut dan terjebak. Dibarengi dengan faktor emosional (like and dislike) lengkap sudah kekalahan Ahok. Ketidaksukaan elit-elit parpol dan konglomerat juga beralasan seperti sikap Ahok yang anti korupsi menjadi antipati dari politisi-politisi umumnya di Indonesia. Ahok yang banyak membuat aturan dengan memalak konglomerat-konglomerat dalam membayar kewajiban mereka untuk pembangunan Jakarta dan tidak bisa main mata dengan memberikan gratifikasi kepada Ahok sebagai sogokan, membuat banyak konglomerat menjadi gerah.
Jadi dalam hal ini kesimpulan yang didapat sebagus apapun kerja seseorang tidak menjamin keterpilihannya karena kebrutalan elit politik dan konglomerat dengan mesin penggerak ormas radikal dan tingkat EQ (Emotional Quotient) masyarakat yang lebih besar dibandingkan pemikiran rasional.
Kekalahan Ahok-Djarot sedikit banyak memberikan lampu kuning untuk mulai berhati-hati bagi beberapa pihak seperti pemerintah khususnya Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penyebaran paham khilafah yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika juga mengancam perpecahan sesama umat muslim harus diantisipasi sedini mungkin. Kita tahu melalui masjid-masjid, bahkan pesantren-pesantren ataupun tempat pengajian-pengajian juga digunakan untuk penyebaran itu. Tugas Menteri Agama lebih merangkul Dewan Masjid dan ormas-ormas Islam moderat, mengontrol dan selektif kualitas pendakwah maupun guru-guru pengajian dan pesantren, lebih mengedepankan dakwah Islam rahmatan lil alamin dan paham kebangsaan / nasionalis pada pendakwah, pengajar maupun santri atau murid-murid sekolah. Mendikbud dalam jajarannya juga harus sigap dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Polri juga lebih ekstra bertugas meredam banyaknya tindakan anarkis, radikal ataupun intoleran dari ormas-ormas garis keras tersebut. Disamping itu kita juga patut mengapresiasi GP Ansor dan Banser dari organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama yang berperan serta menghalau kegiatan-kegiatan ormas Islam yang ingin menyebarkan ideologi khilafah di beberapa tempat. Kedaulatan NKRI menjadi tugas berat yang diemban oleh TNI. Kita sebagai rakyat Indonesia juga tidak luput harus berjuang dalam menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Banyak contoh negara-negara di Timur Tengah yang terlibat konflik hanya karena perbedaan paham dalam beragama. Perebutan kekuasaan menggunakan politisasi agama, masjid-masjid digunakan untuk politik praktis. Hal demikian dapat kita saksikan pada Pilkada DKI 2017 ini bahkan lebih dahsyat dengan memainkan ayat-ayat suci dan penolakan jenazah. Ulama-ulama yang sedianya mengotbahkan kebenaran yang mendamaikan malah bermain politik dan menghujat. Sebenarnya bukan hanya ulama-ulama dalam Islam saja yang harusnya tidak berpolitik, petinggi-petinggi agama lain seperti pendeta, romo, bhiksu, ataupun siapa saja yang memang telah melepas keduniawian menjadi guru untuk mengabdi pada Tuhan dalam membantu memperbaiki akhlak umat manusia berdasarkan agama yang dianut dan dipercaya masing-masing. Mereka-mereka yang mulia itu seharusnya mengajarkan hal baik bukan malah mengajarkan kebencian pada umatnya. Indonesia mulai mengarah pada jalan kehancuran dan perpecahan jika pemerintah maupun kita sebagai rakyat tidak segera mengantisipasinya.
Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Dengan tindakan nyata kita harus bersatu, merapatkan barisan dan menghalangi segala indikasi yang ingin memecah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Jangan menyesali jika nasi telah menjadi bubur kelaknya jika kita tidak peduli akan bangsa dan negara kita saat ini. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945 harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.