• Posted by : admin Sabado, Mayo 13, 2017


    vonis Ahok yang tidak lazim dan kental unsur politis sehingga menimbulkan dampak reaksi keras seperti api yang disiram bensin yang meluas, baik dalam skala nasional dan dunia Internasional, Kejaksaan Agung akhirnya memutuskan akan mengajukan banding terhadap keputusan Hakim Dwiarso.

    Langkah naik banding itu ditempuh oleh Kejaksaan Agung untuk menguji pembuktian kualifikasi pasal karena vonis Hakim ternyata lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut Ahok dihukum satu tahun penjara dengan dua tahun masa percobaan.

    Seperti biasa ulah kaum bumi peang, dalam benak mereka menganggap bahwa keputusan yang ditempuh Kejaksaan Agung melalui jalur naik banding adalah bentuk intervensi partai penguasa saat ini untuk meringankan hukuman Ahok.

    Padahal tidaklah demikian. Seorang Hakim seharusnya netral dan tidak memihak terhadap tututan massa Islam garis keras dan tekanan-tekanan dari para politisi busuk. Apalagi kasus ini terkait masalah agama, pasal karet yang tidak jelas juntrungannya itu.

    Keputusan Hakim terhadap vonis Ahok adalah keputusan sumir yang kental nuansa orderan para tokek-tokek busuk untuk membunuh karakter Ahok dan mematikan hak politiknya dalam pesta demokrasi rakyat dua tahun mendatang.

    Secara logika dan kasat mata orang awam saja sudah bisa melihat dengan jelas bahwa vonis Ahok adalah vonis yang janggal dalam dunia peradilan dimana keputusan Hakim tidak sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

    Vonis Hakim yang tidak masuk akal itu kemungkinan besar ada masukan dari para sponsor karena ada pihak-pihak yang takut kalau Ahok akan jadi Menteri Dalam Negeri atau jadi Wakil Presiden Jokowi pada tahun 2019 mendatang. Maka keputusan Hakim terhadap vonis Ahok pun disetting sedemikian rupa agar hukumannya tepat dua tahun penjara bertepatan dengan pemilu 2019 supaya Ahok tidak pernah bisa lagi menjabat.

    Jujur saja nurani rakyat terusik dengan cara-cara busuk seperti ini. Lihat saja menjelang sidang vonis Ahok, para kaum bumi peang, GNPF-MUI, sudah main ancam akan mendatangkan 5 juta massa untuk menuntut Ahok agar divonis seberat-beratnya. Seenaknya saja hukum yang konstitusional mereka paksa harus sesuai keinginan mereka.

    Kalau sudah begini kondisinya, apa yang bisa dipercaya dari hukum yang indeoenden? Bagaimana supremasi hukum di Indonesia bisa ditegakkan dengan model sistem peradilan dan keputusan Hakim yang sakarepe dewe seperti ini?

    Dan yang lebih mengherankan lagi, selang satu hari sejak keputusan Hakim itu diketok palu dan Ahok dijebloskan ke penjara, para Majelis Hakim tersebut justru mendapat promosi ke daerah-daerah dimana para pentolan FPI mendapatkan kasus, contohnya kasus Munarman di Denpasar dan Rizieq Shihab di Bandung, Jawa Barat. Apakah ini suatu kebetulan?

    Para oknum-oknum politik, baik itu Gerindra, PKS, Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Amien Rais, Din Sjamsudin, dan ormas-ormas pengacau kaum bumi peang, seperti GNPF-MUI, FPI, HTI, FUI, FSI, yang merasa punya pengaruh kuat sehingga mereka bisa seenaknya mengobok-ngobok independensi Hakim selama persidangan kasus Ahok sampai hari H keputusan vonis Hakim.

    Hidup di dunia ini memang tidak selalu berjalan dengan mulus, akan tetapi bukan berarti cara-cara kotor dan menjijikan dipakai semau-maunya untuk menjegal orang lain, melakukan intervensi dan pemaksaan kehendak terhadap sistem peradilan di negeri ini.

    Esensi keadilan diabaikan hanya untuk menguntungkan oknum-oknum politisi busuk di Gerindra dan PKS serta para tua bangka bau tanah yang ingin balas dendam terhadap Ahok. Pokoknya Ahok harus modar. Habis perkara.

    Padahal para Hakim disumpah untuk berlaku adil, bertindak atas dasar pemikiran serta pertimbangan menyeluruh dan dalam memutuskan suatu perkara hanya mengacu pada azas kebenaran fakta, tidak mentolerir pemaksaan kehendak dari pihak manapun dan tanpa adanya rasa takut terhadap tekanan dari pihak tertentu. Namun nyatanya apa?

    Itulah sebabnya saya tidak heran, indeks demokrasi The Economist Intelligence Unit menempatkan demokrasi di Indonesia dalam kategori cacat (flawed democracies).

    Semoga dengan naik banding ini, tidak ada lagi drama serta kebobrokan dalam proses peradilan untuk mengobati luka hati dan merajut kembali persatuan yang tercabik-cabik.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Bersatu NKRI - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -