• Posted by : admin Huwebes, Mayo 11, 2017


    Sejak awal Jokowi terpilih sebagai Presiden, lawan-lawan politiknya kerap melakukan gangguan bahkan sampai ancaman pemakzulan. Aneka pembahasan yang melibatkan legisltatif, beberapa kali terlihat bermasalah. DPR yang seharusnya mewakili rakyat itu malah tak mewakili rakyat sama sekali. Contohnya pemilihan kepala daerah yang maunya dipilih oleh DPRD.

    Melihat kenyataan saat ini Ahok ditahan, dengan segala logika-logika kurang pasnya, yang tidak bisa membedakan Ahok makan sendok dengan Ahok makan pakai sendok, sepertinya memang taqdir bangsa ini untuk memiliki catatan hitam tentang hukum.

    Dulu saat SBY, masalah hukum yang paling absurd adalah ditahannya Antasari, pimpinan KPK yang dituduh terlibat dalam pembunuhan berencana. Sampai saat ini publik menilai bahwa Antasari dikriminalisasi karena dia menangkap besan SBY.

    Sekarang saat Jokowi jadi Presiden, kita juga melihat sebuah catatan hitam tentang hukum di Indonesia. Ahok, Gubernur Jakarta, dinyatakan bersalah dan menista agama, divonis 2 tahun penjara karena mengatakan “jangan mau dibohongi orang pakai Almaidah 51.”

    Bedanya, jika dulu Antasari berseberangan dengan SBY, sekarang Ahok merupakan satu teman perjuangan dengan Jokowi.

    Saya tidak terlalu menyalahkan pendukung Ahok yang kemudian menyalah-nyalahkan Presiden Jokowi. Sebab sepertinya kita terbiasa melihat seorang Presiden yang bisa melakukan segalanya, termasuk merancang skenario pembunuhan dan menjebloskan orang yang dibencinya ke penjara. Masa untuk menyelamatkan Ahok yang memang tidak bersalah tidak bisa?

    Legislatif, eksekutif dan yurisdiksi memang merupakan suatu bagian terpisah. Tapi seharusnya, semua pos tersebut bisa berjalan beriringan, sesuai dengan langkah pimpinan negara.

    Melihat kenyataan Ahok divonis bersalah, ini adalah tanda bahwa Presiden Jokowi berjalan sendiri. Diganggu dari segala sisi. Sementara lawan politiknya sudah menguasai legislatif dan yurisdiksi.

    Sisi gelap Istana

    Meskipun sebenarnya memang begitulah seorang Presiden, yang tidak bisa mengintervensi hukum, namun pada kenyataan Ahok divonis lebih berat dari tuntutan jaksa merupakan suatu fakta bahwa ada sekelompok orang yang dengan sengaja ingin menunjukkan bahwa mereka juga berkuasa.

    Dalam analisis saya, ada beberapa hal yang dilakukan oleh Presiden Jokowi yang sebenarnya adalah benar dan baik, tapi dalam implementasinya ternyata salah. Contoh, sebelum Presiden menunjuk calon-calon menterinya, nama-nama yang ada kemudian dilaporkan dulu ke KPK, untuk melihat apakah nama-nama tersebut bermasalah? Satu hal yang mungkin belum pernah dilakukan oleh Presiden Indonesia sebelumnya.

    Niat Jokowi benar, memang seharusnya seperti itu, terbuka, transparan dan profesional. Tapi dalam implementasinya, memilih menteri atau pembantu mengurusi negara ternyata tidak sesederhana itu. KPK yang kita percaya merupakan lembaga independen dan anti korupsi, rupanya saat itu dipimpin oleh orang yang memiliki masalah dengan PDIP, partai yang batal menyandingkan dirinya dengan Jokowi di Pilpres 2014 lalu.

    Sehingga nama-nama yang menjadi menteri justru diisi oleh orang-orang yang tidak loyal dengan Presiden. Puncak dari pembuktian betapa salahnya Jokowi melibatkan KPK dalam proses memilih menterinya adalah Pilgub DKI ini. Beredar foto Sudirman Said, Ferry Mursyidan dan JK terlihat sedang menonton quick count. Lebih dari itu, Sudirman Said secara terbuka ditunjuk sebagai tim sinkronisasi oleh Anies.

    Sudirman Said, Ferry Mursyidan dan Anies Baswedan, merupakan mantan-mantan menteri pecatan Jokowi. Kini ketiganya berada satu barisan dengan Prabowo, lawan politik Jokowi pada Pilpres 2014 lalu.


    Presiden Jokowi mengidamkan sebuah pemerintah yang bisa bekerja profesional, bukan bagi-bagi kursi. PDIP yang merupakan partai pengusung pun tak mendapat banyak kursi. Presiden sudah benar dengan niat dan mimpinya yang seperti itu, demi kemajuan Indonesia. Akan tetapi, satu hal yang sepertinya tidak terlalu dipikirkan adalah soal loyalitas menterinya.

    Padahal loyalitas ini merupakan faktor penting, bahkan yang terpenting dibandingkan faktor profesionalisme dan sebagainya. Jika Presiden tidak terlalu mempertimbangkan loyalitas sebagai faktor paling penting, maka pemerintahannya akan kerap diganggu oleh kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan semangat Presiden.

    Selain itu, dengan dipilihnya orang-orang yang abu-abu, bahkan sebenarnya tidak loyal pada Presiden, secara otomatis mengurangi jatah orang-orang yang selama ini berjuang di sisi Jokowi. Hal-hal seperti ini bisa membuat mereka yang merasa memiliki kekuatan massa dan pengaruh, jadi berpikir ulang untuk mendukung Jokowi di 2019.

    Ini bukan soal menuntut balasan, tapi soal keadilan sosial saja. Jika orang yang selama ini berjuang memenangkan Jokowi tidak mendapat apa-apa, sementara orang yang tidak mendukung malah mendapat posisi, jelas akan menimbulkan pertanyaan “untuk apa saya dukung Jokowi? mending dukung lawannya jika dijanjikan sesuatu.”

    Cerita di Pilgub DKI dan kasus Ahok harus menjadi pelajaran penting tentang “keberpihakan.” Ketua KPU DKI Sumarno memasang foto aksi 212 sebagai profil WA. Ketua KPU bertemu dengan Anies pada hari pencoblosan ulang. Salah satu hakim yang memvonis Ahok terindikasi merupakan kelompok pembenci Ahok.

    Jika Presiden Jokowi tidak mempertimbangkan loyalitas para pembantunya, maka yang terjadi adalah seperti Pilgub DKI dan sidang kasus Ahok. Keberpihakan adalah sebuah keniscayaan dan akan selalu ada, persetan dengan istilah netral….Begitulah kura-kura.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • - Copyright © Bersatu NKRI - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -